Kamis, 06 Februari 2020

Ibumu...Ibumu...Ibumu


Yang paling kiri adalah wanita bergelar Ibu yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidikku.
.
Yang tengah adalah wanita bergelar ibu yang telah melahirkan, membesarkan dan mendidik wanita yang kini menjadi pendamping hidupku.
.
Yang paling kanan adalah wanita yang juga bergelar ibu yang telah melahirkan dan akan membesarkan serta mendidik anak-anakku.
.
Mereka bertiga istimewa...sangat istimewa dalam hidupku...tiada bosan dan lelah kupanjatkan doa-doaku untuk tiga wanita ini.
.
Tak cukup kata-kata, tak cukup barisan puisi, tak cukup untaian syair untuk menggambarkan keistimewaan tiga wanita ini.
.
Cukup hadist rasul yang mulia yang menggambarkannya:
"Seorang pria pernah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Siapa dari kerabatku yang paling berhak aku berbuat baik?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu.’ Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ibumu’. Dia berkata lagi, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Ayahmu’.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Peniru


Seringkali kita dengar bahwa anak adalah peniru ulung. Apa yang dilakukan orang tua akan ditiru dengan persis oleh sosok yang bernama anak. Maka itu keteladanan orang tua adalah cara terbaik mendidik anak. Namun pernah ga sih kita perhatikan kalau tidak hanya anak meniru yang kita lakukan, tapi mereka kadang jg adalah cerminan perilaku masa kecil kita kepada orang tua kita.
.
Ini yang sedang saya perhatikan akhir-akhir ini. Contohnya anak saya pas saya pulang pasti tanya "Abi bawa oleh-oleh apa? atau Abi bawa apa?"
Kemudian saya merefleksi masa kecil saya, ternyata saya juga menanyakan hal yang sama kepada bapak dan ibu saya dulu. Pun saat saya panggil anak saya kemudian anak saya seperti abai terhadap panggilan saya maka saya baru menyadari bagaimana gondok dan marahnya bapak ibu saya, karena dulu saya ternyata sering abai atau mbingsrung/mbaleng klo bahasa jawa nya.
.
Dan mau seperti apa anak kita kelak memperlakukan kita yang sudah menua, begitu juga bagaimana kita memperlakukan orang tua kita.

Senin, 03 Februari 2020

Kebolak balik


Terinspirasi dari tulisan pak eko novianto (lupa yg judulnya apa, ngapunten pak) yg kalau tidak salah pada intinya kita seringkali terjebak membesar-besarkan masalah yg kecil dan mengecilkan permasalahan yang besar. Sebuah nasehat yang dalem yang kalau kita cermati situasi saat ini kok ya pas sekali dg tulisan tersebut. Di level diri sendiri saja kita sering masuk dalam jebakan ini. Dibuat ribet, pusing oleh hal-hal yg kecil, hal-hal yang remeh temeh tapi kadang lupa pada penyelesaian masalah yang jauh lebih besar, yang jauh lebih penting. Dalam level berumah tangga pun sering terjadi suami istri memperdebatkan hal kecil namun lupa dengan hal yang lebih besar dan esensial. Dalam level kehidupan berbangsa dan bernegara juga tak luput dari jebakan ini. Acapkali terjebak pada kesibukan sebuah seremonial namun abai pada bahasan hal yang besar dan substansial.
.
6 atau 9?
Bisa salah satunya atau malah keduanya. Hanya tinggal mengubah posisi melihat kita, tanpa perlu gontok-gontokan apalagi sampai jotos-jotosan, tanpa perlu merasa paling benar sendiri dan yg berbeda pendapat direndahkan. Semudah itu saja karena memang 6 atau 9 hanya hal kecil yang tak perlu menjadi besar, tak perlu menjadi viral di sosial media apalagi menjadi headline di televisi maupun surat kabar.

J E N D E L A


Aku ingat saat dulu kau pinta
Pinta yang sangat sederhana
Kau ingin jendela
Ya...kau ingin jendela di rumah kita
.
Katamu tak perlu besar besar
Yang penting jendela kaca
Agar dapat memandang rintik hujan dari baliknya
Agar dapat ternikmati sinar mentari yang memancar
.
Cukup jendela kaca dan engkau disisiku
Begitu bisik lembutmu padaku
.
Jendela...
Kemudian kuingat pintamu yang sederhana

Selasa, 21 Januari 2020

Terkadang kita terlalu cepat


Kita pasti pernah mengalami masa-masa sulit dalam hidup kita. Saat dunia seperti tak berpihak pada kita. Saat putus asa perlahan mendekati kita. Dan saat itu tiba kadang kita terlalu cepat berprasangka, kita terlalu cepat menduga bahwa kitalah yang paling menderita. Kita lupa bahwa pasti ada hikmah,ada pelajaran yang bisa kita ambil dari masa sulit itu jika kita sedikit sabar dan tidak terlalu cepat menduga. Kita lupa bahwa kadang masa sulit itulah yang kelak akan membuat kita lebih tangguh dari sebelumnya, lebih bijak dalam melihat hidup dengan segala problematikanya.
.
Terkadang kita terlalu cepat berprasangka
Terkadang kita terlalu cepat mengambil kesimpulan
Terkadang kita terlalu cepat menduga
Terkadang kita terlalu cepat membuat penghakiman
Terhadap takdir yang menimpa kita
entah itu yang menyenangkan atau menyedihkan.
Kita lupa bahwa Alloh tak kan memberi cobaan kecuali hamba-Nya mampu untuk menjalaninya.
Kita lupa bahwa kita hanya perlu sedikit bersabar dan sujud lebih lama.
Kita lupa dan kita hanya kadang terlalu cepat saja.

Senin, 20 Januari 2020

B U N G A


Sekitar dua hari terakhir ini perhatianku tersita oleh tanaman teratai di depan masjid kantor, karena dalam dua hari terakhir kulihat tanaman itu mulai berbunga. Kuperhatikan kemudian kuabadikan dengan kamera ponsel. Dari ia masih kuncup, sehari kemudian mulai mekar dan siang ini sepertinya mekar sempurna. Indah. Kata yang mungkin tepat untuk mendeskripsikannya.
.
Kemudian sambil memandangi hasil jepretan, aku berpikir dan merenung tentang bunga. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari alam semesta ini, salah satunya bunga, menurutku.
.
Bunga teratai itu tak pernah iri dengan kecantikan bunga mawar yang tersohor, ia tetap mekar dengan kelopak khasnya. Ia juga tidak iri dengan bunga melati yang terkenal dengan aroma wanginya, ia tetap saja mekar walau tak menghadirkan wangi. Pun kepada bunga anggrek yang anggun tumbuh menggantung, ia tetap saja tumbuh walau di kolam berlumpur. Ia tetap menjadi dirinya sendiri sebagai seuntai bunga teratai yang meliuk-liuk saat angin berhembus.
.
Dari situ, sisi lain diriku bertanya "bunga tidak pernah iri kepada bunga lainnya, mengapa manusia yang berakal banyak yang iri kepada sesamanya?"
"bunga juga tidak pernah ingin menjadi seperti bunga lainnya, ia tetap tumbuh menjadi dirinya sendiri, tapi mengapa manusia yang berakal, banyak yang ingin menjadi orang lain?"
Apa karena bunga yang tidak berakal?
Atau malah apa karena manusia yang berakal?